Rabu, 20 April 2011

Ibu tetaplah kartini dalam hidupku,walau seorang pelacur

Biarpun matahari menghujam dalam tubuhku,mengoyak ragaku,mencabik cabik dalam setiap sendi-sendiku,ibu tetaplah kartini dalam hidupku,walaupun cibiran penuh hina selalu menyertai hidupku.


                                                 ilustrasi dari google
Malam ini seperti biasa ibu bersolek di depan cermin dengan polesan-polesan yang penuh keindahan, bibirnya yang tipis dengan olesan lipstick pink yang menambah aura kesensualan dalam lekuk bibirnya,di tambah dengan kemerah merahan dalam pipinya,dan bedak yang tak luput dari wajahnya. Ibu memang cantik, pantas banyak laki-laki yang ingin menikmati kecantikannya, laki-laki yang hanya mementingkan hasrat nafsu semata, menikmati manisnya tebu dan meninggalkan begitu saja,tapi ibu tak peduli, yang terpenting ibu dapat dapat mengisi perut anak-anaknya, mebiayai sekolah anaknya.
Siapa yang bisa di salahkan kalo saya di lahirkan dari seorang ibu pelacur,Tuhan,ibu saya,bapak saya yang entah siapa yang saya sendiri tidak kenal.tak ada. Semua sudah takdir yang harus di jalani. Aku tetap sebagai anak ibu yang akan selalu aku sayangi.
“ratna,kamu jagain adek kamu,jangan kemana-mana,ibu mau kerja dulu”
begitulah ibu setiap pergi kerja malam selalu berpesan kepadaku,aku tak pernah menjawabnya hanya diam,ibupun pergi begitu saja di telan gelapnya malam. Sebenarnya aku tak suka ibu yang selalu bekerja malam dengan pakaian seksi,pernah ibu mencoba berdagang makanan,tapi tak ada yang membeli,semua terkesan jijik dengan makanan ibu,bahkan ada yang takut terkena virus HIV di makanannya,sungguh bikin sedih dalam hatiku,sehingga saat ibu kembali dalam dunia malam,aku tak dapat melarangnya karena kami butuh makan.
Hari ini aku di tampar oleh ibu gara-gara aku mengenalkan seorang cowok yang menjalin hubungan denganku, ibuku marah besar.
“aku sudah besar bu,kenapa aku tak boleh pacaran bu?”
Aku menangis,entahlah ini tangisan yang ke berapa, seringkali aku menangis,saat ibu di cemooh oleh tetangga,aku hanya menangis,begitupun saat ibu pulang dengan mabuk,aku tak bisa berbuat apa-apa hanya tetesan air mata yang keluar dari bola mata, dan apakah ibu juga menangis seperti diriku,aku tak tahu.karena ibu selalu menyembunyikan kesedihan di hadapanku.
Aku marah sama ibu, aku yang hanya pacaran dengan seorang cowok yang aku cintai,tapi ibu malah melarangku,apa karena aku masih SMA,tapi aku sudah kelas tiga.apakah ibu tidak sayang sama aku sehingga selalu melarang ini itu.
Bulan menampakkan sinarnya, tesenyum sungging memancarkan cahaya keindahan yang penuh kecerahan,sehingga malam bernyanyi riang penuh pesona temaram.seperti biasa ibu mempersolek diri di depan cermin, sementara aku mengurung diri di dalam kamar, air mataku mengering, rasanya luka ini masih membekas di dalam hati, luka yang membuat aku semakin benci dengan ibu.
Ibu mengetok-ngetok pintu kamarku,memintaku keluar dan menemani adikku, aku pun keluar karena kasihan sama adikku. Hari ini aku malas bicara dengan ibu,tak sepatah katapun keluar dari mulutku,walupun sedari tadi ibu menyuruhku makan karena takut aku sakit sampai ngomong ini itu.aku tak memperdulikannya,diam dan cuek. Ibu tahu aku sedang marah,tapi begitulah ibu selalu mengangap semuannya biasa saja.
“ratna,ibu pergi dulu yah,kamu jangan lupa makan”
Ibu pergi menuju tempat di mana para lelaki hidung belang mencari mangsa untuk menyalurkan hasrat bejatnya, lelaki yang rela mengeluarkan ratusan ribu rupiah demi sebuah nafsu yang mengelayut dalam naluri kotor.deretan perempuan-perempuan seksi menjajakan tubuhnya demi sebuah kehidupan,kemapanan dan pelarian. Penuh keriuhan dan tawar menawar dengan binal, malam seakan mendukungnya melewati keindahan yang penuh duri-duri tajam.
Adikku sudah terlelap tidur,tapi rasanya raga dalam tubuhku ini susah diajak bekerjasama mengistirahatkan diri dalam kasur ku baca buku yang mengisahkan tentang kartini yang ada di rak buku, tentang emansipasi wanita,tentang kesejajaran laki-laki dan wanita, tentang bagaimana mendobrak adat yang selalu berpihak pada laki-laki,berjuang dengan gigih.
“tok..tok..tok”tiba-tiba pintu rumah di ketok oleh seseorang, bukannya ibu biasanya pulang selalu menjelang subuh, hatiku bertanya-tanya. Kulihat dari balik jendela dengan menyibak gorden sedikit mengintip keluar rumah,apakah ibu sudah pulang.
“apa benar ini rumah ibu salma” setelah ku buka pintu, kulihat dua orang berpakain dinas polisi menanyakan tentang ibuku.
“ada apa dengan ibu saya pak?”
Akupun histeris,menjerit,lunglai,lemas. Air mata ini kembali meneteskan yang kesekian kali,pak polisi menceritakan kalo ibu terkena tusukan pisau oleh salah seorang pelanggannya, yang membayar kurang sehingga adu mulut yang mengakibatkan lelaki itu kalap dan menusuk ibu.
Lorong-lorong rumah sakit seakan menambah aroma kesedihan dalam diriku, terkoyak dalam dada. Ibu apakah engkau baik-baik saja. Aku terus melaju menuju kamar di mana ibu di rawat. Ibu belum siuman, aku di minta untuk tidak masuk dulu ke dalam,tapi dadaku seakan sesak selama belum bertemu dengan ibu. Aku hanya bisa memandangi ibu dari luar,ibu maafkan anakmu ini.
Pagi hari ibu sudah mulai siuman,kata dokter luka yang di derita oleh ibu tak begitu dalam dan hanya mengenai samping badannya, aku menemui yang masih terbaring, menyuapinya makanan yang di sediakan oleh pihak rumah sakit, ku usap rambutnya.
“ibu aku minta maaf tidak nurut sama ibu” air mata kembali menetes,ku cium tangan ibu.
“ibu juga minta maaf ya rat,bukannya ibu melarang kamu pacaran,tapi ibu tak ingin kamu seperti ibu, ibu ingin menyekolahkanmu sampai kuliah,supaya kamu bisa meraih cita-citamu”
Mengalirlah cerita ibuku mengenai masa lalunya yang kelam,dia di tinggalkan pacarnya begitu saja setelah tahu kalo dirinya hamil oleh pacar,sehingga ibu harus mengubur cita-citanya menjadi dokter,karena sekolahnya harus putus di tengah jalan,dan kehidupannya semakin tak terkontrol setelah kedua orang tuanya meninggal dunia.
“ibu tahu pekerjaan ibu sangat kotor,tapi ibu ingin kamu seperti kartini yang memperjuangkan emansipasi wanita, yang mampu memperjuangkan cita-citamu, menjadi wanita yang berguna bagi masyarakat”
Aku menangis di pelukan ibu,selama ini aku salah menilai ibu, ternyata ibu begitu mulia memperjuangkanku demi cita-citaku, agar aku menjadi wanita seperti kartini yang rela memperjuangkan kesetaraan wanita walau sampai ke negeri belanda.
Ibu kaulah kartini dalam hidupku,walau kau seorang pelacur.

0 komentar:

Posting Komentar

caci - maki kalian sangat saya harapkan untuk kemajuan saya di hari mendatang dan silahkan tinggalkan cacian anda disini

 
;