Biarpun matahari menghujam dalam tubuhku,mengoyak ragaku,mencabik cabik dalam setiap sendi-sendiku,ibu tetaplah kartini dalam hidupku,walaupun cibiran penuh hina selalu menyertai hidupku.
Malam  ini seperti biasa ibu bersolek di depan cermin dengan polesan-polesan  yang penuh keindahan, bibirnya yang tipis dengan olesan lipstick pink  yang menambah aura kesensualan dalam lekuk bibirnya,di tambah dengan  kemerah merahan dalam pipinya,dan bedak yang tak luput dari wajahnya.  Ibu memang cantik, pantas banyak laki-laki yang ingin menikmati  kecantikannya, laki-laki yang hanya mementingkan hasrat nafsu semata,  menikmati manisnya tebu dan meninggalkan begitu saja,tapi ibu tak  peduli, yang terpenting ibu dapat dapat mengisi perut anak-anaknya,  mebiayai sekolah anaknya.
Siapa  yang bisa di salahkan kalo saya di lahirkan dari seorang ibu  pelacur,Tuhan,ibu saya,bapak saya yang entah siapa yang saya sendiri  tidak kenal.tak ada. Semua sudah takdir yang harus di jalani. Aku tetap  sebagai anak ibu yang akan selalu aku sayangi.
“ratna,kamu jagain adek kamu,jangan kemana-mana,ibu mau kerja dulu”
begitulah ibu setiap pergi kerja malam selalu  berpesan kepadaku,aku tak pernah menjawabnya hanya diam,ibupun pergi  begitu saja di telan gelapnya malam. Sebenarnya aku tak suka ibu yang  selalu bekerja malam dengan pakaian seksi,pernah ibu mencoba berdagang  makanan,tapi tak ada yang membeli,semua terkesan jijik dengan makanan  ibu,bahkan ada yang takut terkena virus HIV di makanannya,sungguh bikin  sedih dalam hatiku,sehingga saat ibu kembali dalam dunia malam,aku tak  dapat melarangnya karena kami butuh makan.
Hari ini aku di tampar oleh ibu gara-gara aku mengenalkan seorang cowok yang menjalin hubungan denganku, ibuku marah besar.
“aku sudah besar bu,kenapa aku tak boleh pacaran bu?”
Aku  menangis,entahlah ini tangisan yang ke berapa, seringkali aku  menangis,saat ibu di cemooh oleh tetangga,aku hanya menangis,begitupun  saat ibu pulang dengan mabuk,aku tak bisa berbuat apa-apa hanya tetesan  air mata yang keluar dari bola mata, dan apakah ibu juga menangis  seperti diriku,aku tak tahu.karena ibu selalu menyembunyikan kesedihan  di hadapanku.
Aku  marah sama ibu, aku yang hanya pacaran dengan seorang cowok yang aku  cintai,tapi ibu malah melarangku,apa karena aku masih SMA,tapi aku sudah  kelas tiga.apakah ibu tidak sayang sama aku sehingga selalu melarang  ini itu.
Bulan  menampakkan sinarnya, tesenyum sungging memancarkan cahaya keindahan  yang penuh kecerahan,sehingga malam bernyanyi riang penuh pesona  temaram.seperti biasa ibu mempersolek diri di depan cermin, sementara  aku mengurung diri di dalam kamar, air mataku mengering, rasanya luka  ini masih membekas di dalam hati, luka yang membuat aku semakin benci  dengan ibu.
Ibu  mengetok-ngetok pintu kamarku,memintaku keluar dan menemani adikku, aku  pun keluar karena kasihan sama adikku. Hari ini aku malas bicara dengan  ibu,tak sepatah katapun keluar dari mulutku,walupun sedari tadi ibu  menyuruhku makan karena takut aku sakit sampai ngomong ini itu.aku tak  memperdulikannya,diam dan cuek. Ibu tahu aku sedang marah,tapi begitulah  ibu selalu mengangap semuannya biasa saja.
“ratna,ibu pergi dulu yah,kamu jangan lupa makan”
Ibu  pergi menuju tempat di mana para lelaki hidung belang mencari mangsa  untuk menyalurkan hasrat bejatnya, lelaki yang rela mengeluarkan ratusan  ribu rupiah demi sebuah nafsu yang mengelayut dalam naluri  kotor.deretan perempuan-perempuan seksi menjajakan tubuhnya demi sebuah  kehidupan,kemapanan dan pelarian. Penuh keriuhan dan tawar menawar  dengan binal, malam seakan mendukungnya melewati keindahan yang penuh  duri-duri tajam.
Adikku  sudah terlelap tidur,tapi rasanya raga dalam tubuhku ini susah diajak  bekerjasama mengistirahatkan diri dalam kasur ku baca buku yang  mengisahkan tentang kartini yang ada di rak buku, tentang emansipasi  wanita,tentang kesejajaran laki-laki dan wanita, tentang bagaimana  mendobrak adat yang selalu berpihak pada laki-laki,berjuang dengan  gigih.
“tok..tok..tok”tiba-tiba  pintu rumah di ketok oleh seseorang, bukannya ibu biasanya pulang  selalu menjelang subuh, hatiku bertanya-tanya. Kulihat dari balik  jendela dengan menyibak gorden sedikit mengintip keluar rumah,apakah ibu  sudah pulang.
“apa benar ini rumah ibu salma” setelah ku buka pintu, kulihat dua orang berpakain dinas polisi menanyakan tentang ibuku.
“ada apa dengan ibu saya pak?”
Akupun  histeris,menjerit,lunglai,lemas. Air mata ini kembali meneteskan yang  kesekian kali,pak polisi menceritakan kalo ibu terkena tusukan pisau  oleh salah seorang pelanggannya, yang membayar kurang sehingga adu mulut  yang mengakibatkan lelaki itu kalap dan menusuk ibu.
Lorong-lorong  rumah sakit seakan menambah aroma kesedihan dalam diriku, terkoyak  dalam dada. Ibu apakah engkau baik-baik saja. Aku terus melaju menuju  kamar di mana ibu di rawat. Ibu belum siuman, aku di minta untuk tidak  masuk dulu ke dalam,tapi dadaku seakan sesak selama belum bertemu dengan  ibu. Aku hanya bisa memandangi ibu dari luar,ibu maafkan anakmu ini.
Pagi  hari ibu sudah mulai siuman,kata dokter luka yang di derita oleh ibu tak  begitu dalam dan hanya mengenai samping badannya, aku menemui yang  masih terbaring, menyuapinya makanan yang di sediakan oleh pihak rumah  sakit, ku usap rambutnya.
“ibu aku minta maaf tidak nurut sama ibu” air mata kembali menetes,ku cium tangan ibu.
“ibu  juga minta maaf ya rat,bukannya ibu melarang kamu pacaran,tapi ibu tak  ingin kamu seperti ibu, ibu ingin menyekolahkanmu sampai kuliah,supaya  kamu bisa meraih cita-citamu”
Mengalirlah  cerita ibuku mengenai masa lalunya yang kelam,dia di tinggalkan  pacarnya begitu saja setelah tahu kalo dirinya hamil oleh pacar,sehingga  ibu harus mengubur cita-citanya menjadi dokter,karena sekolahnya harus  putus di tengah jalan,dan kehidupannya semakin tak terkontrol setelah  kedua orang tuanya meninggal dunia.
“ibu  tahu pekerjaan ibu sangat kotor,tapi ibu ingin kamu seperti kartini yang  memperjuangkan emansipasi wanita, yang mampu memperjuangkan  cita-citamu, menjadi wanita yang berguna bagi masyarakat”
Aku  menangis di pelukan ibu,selama ini aku salah menilai ibu, ternyata ibu  begitu mulia memperjuangkanku demi cita-citaku, agar aku menjadi wanita  seperti kartini yang rela memperjuangkan kesetaraan wanita walau sampai  ke negeri belanda.
Ibu kaulah kartini dalam hidupku,walau kau seorang pelacur.

 
 



0 komentar:
Posting Komentar
caci - maki kalian sangat saya harapkan untuk kemajuan saya di hari mendatang dan silahkan tinggalkan cacian anda disini